Kamis, 20 September 2012

Sebuah Kisah Seorang Anak Muda yang Pandai

by Lukito Edi Nugroho on Sunday, July 10,
2011 at 4:09pm
Saduran bebas dari sebuah link yang
diposting di milis Dosen-UGM. Sedikit
dimodifikasi untuk memberikan efek
dramatis. Semoga bermanfaat bagi para
mahasiswa, para alumni (terutama yg baru
lulus dan akan memasuki dunia kerja),
teman-teman dosen dan karyawan JTETI,
serta pembaca lainnya. Silakan dicopy-paste
jika dirasakan baik utk disebarluaskan...
------------------------------------------------------------------
Alkisah ada seorang anak muda yang brilian
dan sangat pintar. Dia baru saja lulus
sarjana dengan predikat cum laude. Selama
kuliah, dia juga mengoleksi beberapa
penghargaan dan prestasi. Intinya, si anak
muda ini benar-benar te-o-pe be-ge-te. Dan
iapun bangga dengan kemilau prestasinya
tersebut. Rasa pedenya begitu tinggi…
Setelah lulus, ia lalu mencari pekerjaan. Saat
melamar ke sebuah perusahaan terkenal,
tidak sulit baginya untuk lolos dari tes-tes
saringan, hingga sampailah ia ke tahap
terakhir: wawancara dengan Direktur
perusahaan tersebut. Saat wawancara tiba,
terjadilah dialog antara pak Direktur dengan
si anak muda.
“Prestasimu sungguh luar biasa, anak muda.
Bagaimana kamu bisa punya prestasi
setinggi itu?”, tanya pak Direktur.
“Saya belajar keras, pak. Saya selalu
memacu diri saya sendiri, dan memupuk
kepercayaan diri saya.”, jawab si anak muda.
“Siapa yang mendorong dan
memotivasimu? Ayahmukah?”
“Bukan pak. Ayah sudah meninggal sejak
saya kecil. Saya terbiasa memotivasi diri
sendiri untuk menjadi yang terbaik.”
“Kalau ayahmu sudah meninggal, siapa yang
membiayai sekolahmu?”
“Ibu saya, pak.”
“Oh begitu…lalu apa pekerjaan ibumu?”
“Ibu saya menjadi pencuci baju, pak. Beliau
menerima order cucian dari para tetangga.”
Mendengar jawaban si anak muda tersebut,
pak Direktur lalu berkata,”Coba ulurkan
tanganmu, anak muda”. Meski agak heran
dengan permintaan ini, si anak muda lalu
mengulurkan tangannya ke pak Direktur,
yang lalu memeriksanya dengan cermat.
Ternyata tangan itu bersih, putih, dan
mulus. Tidak ada tanda-tanda pernah
digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan kasar.
Pak Direktur lalu bertanya,”Pernahkah
kamu membantu ibumu mencuci pakaian,
nak?”
“Tidak pak, tak pernah sekalipun.”
“Kalau begitu sekarang pulanglah, dan bila
bertemu dengan ibumu, coba perhatikan
dengan cermat tangan beliau. Lalu cobalah
lakukan pekerjaan ibumu. Besok kamu
kembali lagi ke sini, temui saya, dan
ceritakan pengalamanmu.”, demikian pesan
pak Direktur
Pulanglah si anak muda tadi, dan sesampai
di rumah, disampaikanlah kata-kata pak
Direktur kepada ibunya. Meskipun agak
heran, ibunya menurut saja dan
menyorongkan kedua tangannya kepada
anak yang disayanginya. Begitu melihat
tangan orang tua tadi, kagetlah si anak. Ini
adalah pertama kalinya ia mengamati
tangan ibunya secara cermat. Tampaklah
olehnya tangan yang keriput, kasar, dan
bersisik. Di beberapa tempat bahkan terlihat
bekas-bekas luka. Sungguh kontras bila
dibandingkan dengan tangannya sendiri
yang bersih dan mulus.
“Ibu….”, dan si anak mudapun tercekat tak
mampu berkata apapun. Mengalirlah
sebutir air matanya.
“Kenapa tangan ibu sampai begini? Ibu
bekerja terlalu berat. Maafkan aku yang tak
pernah tahu keadaan ibu seperti ini”, bisik si
anak sambil membelai dan menciumi
tangan ibunya.
Ibunya tersenyum saja. “Tidak apa-apa nak.
Ibu ikhlas bekerja keras untukmu. Buat ibu,
yang penting kamu bisa fokus belajar. Ibu
bahagia akhirnya kamu bisa lulus dengan
baik. Itu satu-satunya yang penting buat
ibu.”
Mendengar ucapan ibunya, runtuhlah
kebanggaan si anak muda. Hilanglah semua
ke-aku-annya. Sampai detik itu ia merasa
bahwa semua prestasinya adalah usahanya
sendiri. Kenyataannya, tanpa pengorbanan
ibunya, dia tidak akan menjadi apa-apa.
Nothing…
Dia merasa seperti semakin terlempar ke
titik nadir setelah mencoba melakukan
permintaan pak Direktur berikutnya:
mencuci pakaian, seperti yang biasa
dilakukan ibunya. Ternyata bagi dia yang
tidak pernah mencuci pakaian sendiri,
pekerjaan merendam, mengucek,
membilas, dan memeras sungguh tidak
mudah dilakukan. Baru beberapa potong
baju saja, tangannya sudah merasa perih.
Malam itu si anak muda tidak bisa tidur.
Dunianya seolah dibalik dalam sekejap
mata. Keyakinan dan persepsinya selama ini
patah begitu saja setelah ia melihat apa yang
telah dilakukan ibunya selama ini.
Keesokan harinya ia datang menghadap ke
pak Direktur, yang langsung saja
bertanya,”Apa yang kamu rasakan dan
pikirkan, anak muda?”
Si anak muda menghela nafas, lalu
menjawab sambil tertunduk,”Ada dua hal
yang saya pelajari, pak…”
“Katakan nak, apa dua hal itu.”
“Yang pertama, saya sadar selama ini saya
tidak pernah memperhatikan orang lain.
Saya tidak pernah mengapresiasi apa yang
telah mereka lakukan, bahkan untuk hal-hal
yang terkait dengan kepentingan saya
sekaliapun…”, si anak muda menjawab
sambil menahan air mata karena teringat
akan ibunya. Lalu ia menyambung,
“Yang kedua, saya tidak pernah menyadari
bagaimana beratnya mencapai sebuah
tujuan. Selama ini saya merasa bahwa
menjadi lulusan terbaik itu mudah. Saya
pikir dengan belajar keras saja sudah cukup.
Tapi ternyata tidak, pak... Ternyata banyak
hal lain yang harus dilakukan, dan itu tidak
pernah saya kerjakan, bahkan saya
pikirkanpun tidak...Saya buta terhadap
usaha-usaha lain yang dilakukan oleh ibu
saya. Beliau bekerja begitu berat semata-
mata hanya untuk kepentingan saya…“
Mendengar kata-kata si anak muda tadi, pak
Direktur tersenyum. “Anak muda, kamu
diterima di perusahaan ini.”
Si anak muda mendongak kaget.”Pak, apa
maksud Bapak?”
“Aku tidak mencari karyawan yang pintar
tapi tidak peduli pada sekelilingnya. Aku
tertarik padamu bukan karena
kepintaranmu saja, tapi pada kesadaranmu
tentang sensitivitas pada sekelilingmu,
tentang sulitnya mencapai sebuah tujuan
dan pentingnya kerjasama, dan tentang
pentingnya mengapresiasi dan menghargai
apa yang dikerjakan orang lain.”
Mendengar penjelasan pak Direktur, si anak
muda merasa ia hidup dalam dunia yang
baru…